Friday, December 16, 2016

Rumah Murah atau Murahan?

Oleh Supendi


Program pemerintah pusat dalam penyediaan rumah layak patut diapresiasi. Melalui kebijakan penurunan suku bunga BI rate yang berimbas pada pemangkasan bunga kredit pemilikan rumah (KPR) menjadi kabar baik ditengah sulitnya ekonomi masyarakat.

Bunga rendah ini membuka peluang bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk memiliki rumah dengan harga terjangkau berikut cicilan ringan. Apalagi pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No 113/PMK.03/2014 yang membatasi harga jual rumah subsidi dengan rentang Rp114 juta-Rp250 juta per unit.


Dari sisi pengembang, pemerintah juga telah menerbitkan paket kebijakan XIII yang berisi pemangkasan dan penyederhaan berbagai izin rumah. Ini seakan menjadi angin surga bagi para pengembang yang selama ini terpasung oleh birokrasi perizinan yang berbelit dan mahal.

Perizinan yang dihilangkan antara lain: izin lokasi dengan waktu 60 hari kerja, persetujuan gambar master plan dengan waktu 7 hari kerja, rekomendasi peil banjir dengan waktu 30-60 hari kerja serta izin analisa dampak lingkungan lalu lintas (Andal Lalin) dengan waktu 30 hari kerja. Kebijakan lainnya berupa penggabungan sejumlah izin dan percepatan proses perizinan.

Inilah yang kemudian mendorong pengembang mengalihkan fokus jualannya dari rumah komersil ke rumah subsidi. Harga yang terjangkau membuat masyarakat berbondong-bondong membeli rumah subsidi yang rata-rata memakai skema KPR melalui bank penyalur. Fenomena yang didasari masih tingginya ketimpangan masyarakat yang belum memiliki rumah menjadi peluang bisnis yang menjanjikan bagi para pengembang.

Pengembang sebenarnya sangat senang dengan berbagai kebijakan pemerintah yang menstimulus penjualan rumah ditengah ekonomi yang melambat. Namun dibatasinya ambang jual rumah subsidi dibawah Rp200 juta per unit membuat gairah pengembang sedikit mengendur. Tapi bukan pengusaha namanya bila tak membikin siasat agar tetap meraup untung.

Para pengembang umumnya atau bisa jadi seluruhnya ramai-ramai memutar otak agar tetap bisa membangun rumah yang layak dihuni. Yang penting komponen utama seperti atap, dinding dan pintu terpenuhi. Artinya jangan dulu bicara soal kualitas dan daya tahan bangunan, karena sewaktu-waktu membutuhkan perbaikan yang kelak ditanggung pembeli.

Rendahnya kualitas bangunan rumah bersubsidi ini ditengarai karena para kontraktor menurunkan kualitasnya atau disesuaikan dengan harga jual sesuai yang dipatok pemerintah. Sedari awa, para pengembang juga banyak yang terang-terangan menawarkan biaya tambahan yang disebut biaya peningkatan kualitas diluar harga rumah. Apa artinya kalau bukan ingin bicara bahwa rumah ini sebenarnya tak tahan lama.

Kondisi ini juga diakui langsung oleh para pengembang baik yang tergabung di Asosiasi Perusahaan Pengembang Real Estat Indonesia (REI) maupun Asosiasi Pengembang dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi).

Ketua DPP REI Eddy Hussy bilang, harga rumah subsidi yang ada dibawah Rp200 juta membuat kualitas seadanya dan hanya sekadar layak huni. Contohnya plester dinding yang kurang rapi dan mengelupas atau kurang kualitasnya. Prinsipnya, yang penting rumah subsidi tersedia sedangkan masalah perbaikannya bisa dilakukan sendiri oleh pemilik rumah di kemudian hari.

Nah bila sudah begini, siapa yang kemudian dirugikan? Masyarakat kelas bawah yang tadinya ngontrak sana-sini awalnya pada bersyukur karena telah berhasil membeli rumah sendiri meskipun setengah mati membayar cicilannya. Namun dikemudian hari menanggung rugi lantaran tambal sana-sini.

Pengembang dan kontraktor juga tak semerta-merta bisa disalahkan. Apa yang mereka lakukan itu juga bentuk keterpaksaan karena tekanan dari pemerintah. Masalahnya kemudian, sudah sejauh mana pemerintah sadar dengan realitas ini dan mau mencarikan solusi. []


~ Fajar Sumatera, Jumat, 16 Desembar 2016

No comments:

Post a Comment