Tuesday, December 13, 2016

Logika Terbalik

Oleh Riko Firmansyah


LOGIKA adalah cara berpikir sistematis demi melahirkan kebenaran menurut pandangan umum. Bila terbalik, maka sudut pandangnya tak lagi berurutan. Misalnya, tidak bosan meski lama menunggu. Atau, miskin malah bisa beli semuanya.

Termasuk juga pandangan pemerintah membangun dari desa ke kota. Masyarakat di sana miskin dengan tingkat pendidikan rendah. Maka dipandang perlu untuk mensejajarkannya dengan fasilitas dan kualitas manusia sama seperti di kota.


Hal itu dibuktikan dengan makin meningkatnya anggaran dana desa. Awalnya Rp20 triliun pada 2015, Rp47 trilun (2016), dan tahun depan ditarget Rp60 triliun.

Diperkirakan para kepala desa mengurusi pembeayaan sekitar Rp1 miliar---sama atau bahkan lebih---ketimbang para kepala dinas. Mereka juga diberi pendamping mulai tingkat desa hingga kecamatan.

Semangatnya awalnya sederhana, memperlancar arus transportasi dari desa ke kota atau sebaliknya. Dengan begitu hasil bumi untuk mensuplai kota dan transfer ilmu dan teknologi dari kota semakin lancar.

Terlepas dari tersalurkan atau tidak. Dana itu diamanatkan untuk infrastruktur, fasilitas sosial/umum, adiministratif, hingga pendidikan. Sesuai UU  No. 6/2014. Tetapi, besarnya asupan dana itu mulai berdampak.

Tetapi logikanya mulai terbalik. Karena menyimpang dari semangatnya. Bahwa desa yang memiliki lahan produktif mulai berkurang karena lebih mengutakan kemampuan administratif. Seperti, membangun balai desa dan fasilitas kantor.

Lalu, bangunan fisik mulai bertambah. Karena, mereka beranggapan desanya harus memiliki fasilitas yang sama atau paling tidak mendekati apa yang terdapat di kota.

Desa yang tadinya menjadi sentra tradisi dan budaya mulai tergerus. Prilaku dan adat budaya bisa jadi tak lagi dianggap penting. Tersamarkan dengan arus modernisasi.

Kemudian, fungsi desa yang seharusnya menjadi sumber produksi bahan pokok mulai memudar. Masyarakatnya mulia terlihat konsumtif. Bisa saja mereka lebih memilih membeli microwave ketimbang traktor untuk membajak sawah.

Semua itu wajar dan masuk logika, melimpahnya pemasukan berbanding lurus dengan banyak yang dibutuhkan untuk dibeli. Meski begitu, masyarakat desa tak boleh disalahkan. Karena, konsep dan pemetaannya yang kurang stabil. Ditambah tak adanya fungsi pengawasan ideal.

Bila kondisi itu tak segera diantisipasi---bukan maksud menolak bantuan dana desa---pembangunan yang seperti ini bila diteruskan maka sama saja dengan mengorbankan masa depan negeri ini. []


~ Fajar Sumatera, Selasa, 13 Desembar 2016

No comments:

Post a Comment