Tuesday, December 20, 2016

Kompeten Tapi Dikemplang Mulu

Oleh Udo Z Karzi


LAMPUNG menjadi provinsi kompoten kelima setelah Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Bali. Karena itu, sumber daya manusia (SDM) di daerah memiliki diharapkan memiliki sertifikasi atau berkompeten untuk menghadapi persaingan Masyarakat Ekonomi ASEAN.

"Sebisa mungkin SDM Lampung telah bersertifikasi agar tidak kalah dengan daerah maupun negara lain guna menghadapi persaingan global," kata Gubernur Lampung M Ridho Ficardo pada acara pencanangan dan penandatanganan Lampung Kompeten di Gedung Pusiban, Bandarlampung, Jumat, 16/12/2016.


Itu idealnya. Ada sertifikat, ada kompetensi. Tapi, bisa jadi realitas sangat mungking mengatakan lain.

Teman saya, termasuk ngotot tak perlulah memegang sehelai sertifikat untuk dikatakan kompeten. Sederhana saja, kata dia, kompeten itu per kamus berarti (1) cakap (mengetahui), (2) berkuasa (memutuskan, menentukan) sesuatu; berwewenang.

Kita pada akhirnya hanya terjebak pada formalisme kompetensi. Maka, lihatlah ada guru bersertifikasi sebagai ganti guru yang kompeten. Dan, kemudian lihat pula bagaimana dana sertifikasi dikemplang atau macet.

Pemerintah Kota (Pemkot) Bandarlampung misalnya, lebih memilih menghabiskan uang negara untuk membangun flyover ketimbang membayar sertifikasi guru dan kesejahteraan masyarakat. Bahkan, konon, pemkot mengalihkan perhatian dengan wacana peresmian Flyover Antasari-Gajah Mada yang menelan Rp38 miliar supaya guru lupa dengan sertifikasi.

Di bidang jurnalistik, telah pula diterapkan Uji Kompetensi Wartawan (UKW), walau tetap saja ada jurnalis yang menolak UKW. Alasannya, masuk akal. Kompetensi wartawan toh tidak bisa ditentukan oleh sehelai kertas yang menyebutkan wartawan bersangkutan telah kompeten.

"Wartawan itu menulis! Lihat karyanya untuk memastikan seorang wartawan kompeten atau tidak," kata seorang jurnalis yang menolak pakai diuji-uji segala.

Dulu di zaman SBY, sempat ada wacana untuk melakukan sertifikasi seniman. Kalau yang terakhir ini, memang kelewatan. Terlalu! Seniman disertifikasi... apa geh standar kompetensinya? Apa pula sekolah atau pendidikan kesenian yang bisa meningkatkan kompetensi para seniman? Bukankah pula sekolah kesenian -- apatah lagi perguruan tinggi kesenian (baca: ilmu budaya) -- bukan hal yang harus mendapat perhatian di Negeri Ujung Pulau ini.

Jadi, dianjurkan sangat untuk tidak terlalu mengagung-agungkan sertifikat kompeten. Lebih baik kompeten tanpa sertifikat dari pada bersertifikat tapi tunakarya atau atau bersertifikat tapi dana sertifikasinya dikemplang mulu. []


~ Fajar Sumatera, Selasa, 20 Desember 2016

No comments:

Post a Comment