Friday, June 24, 2016

Ironi Bank Lampung

Oleh Supendi

MASYARAKAT Lampung boleh jadi sudah sangat akrab dengan tagline Bank Lampung, sebagai Banknya Masyarakat Lampung. Tagline ini juga kerap dibumbui dengan Bank Lampung sebagai bank kebanggaan masyarakat Lampung. Benarkah menjadi kebanggaan?

Bila menilik kinerjanya akhir-akhir ini, rasanya kurang pas bila kita sebagai masyarakat Lampung merasa bangga memiliki Bank Lampung. Terlepas dari berbagai prestasi baik dan buruknya, fakta juga menunjukkan bahwa masyarakat Lampung sebagian besar lebih memilih bank lain untuk urusan transaksi perbankan.

Hengkangnya 5.000 nasabah Bank Lampung belum lama ini semakin menambah suram catatan kinerja buruk Bank Lampung. Tanpa mencari tahu asal penyebabnya pun, masyarakat sudah bisa menilai ada sesuatu yang salah yang membuat nasabah merasa tak nyaman memakai jasa Bank Lampung.

Fakta itu ditambah dengan catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Lampung yang menyebut, pertumbuhan kredit Bank Lampung dalam dua tahun terakhir cenderung menurun. Pada tahun 2014 kredit Bank Lampung hanya tumbuh sebesar 18,14 persen dan mengalami kontradiksi yang signifikan pada 2015 dengan laju pertumbuhan kredit yang hanya 4,6 persen.

Catatan Fajar Sumatera juga menunjukkan, meski sudah genap berusia 50 tahun, Bank Lampung masih belum bisa bersaing dengan para kompetitornya. Setidaknya ini bisa dilihat dari sisi rasio kecukupan modal.

Di Indonesia, Bank Lampung tergabung dalam Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda)  dengan 26 anggota. Dari jumlah itu, Bank Lampung masuk urutan ke 23 dari sisi kecukupan modal.

Direktur Utama PT Bank Lampung, Mangkoe Sasmito pernah menyebut, saat ini kecukupan modal inti Bank Lampung hanya sebesar Rp400 miliar.

Bila mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/pojk.03/2016 Tentang Kegiatan usaha dan jaringan kantor, berdasarkan modal inti yang dimiliki, bank dikelompokkan menjadi 4 (empat) bank buku (BUKU).

Bank BUKU 1 adalah bank dengan modal inti sampai dengan kurang dari Rp1 triliun, BUKU 2 adalah bank  dengan modal  inti paling sedikit Rp1 triliun sampai dengan kurang dari Rp5 triliun. BUKU 3 adalah bank dengan modal inti paling sedikit sebesar Rp5 triliun sampai dengan kurang dari Rp30 triliun dan BUKU 4 adalah bank dengan modal inti paling sedikit sebesar Rp30 triliun.

Artinya bila dilihat berdasarkan kategori bank dengan modal intinya, Bank Lampung hanya masuk kategori BUKU 1 dan hanya boleh membuka kantor cabang di cakupan wilayah provinsi dengan aktifitas terbatas.

Kondisi ini tentu membuat kita miris. Bila dibandingkan dengan bank daerah lainnya, Bank Lampung bahkan masih kalah dengan BPD NTT yang sudah masuk ke BUKU 2 yang tercatat memiliki skor 92,31 di kategori BUKU 2 kelompok aset di bawah Rp10 triliun.

Mangkoe mengakui, pihaknya memang kesulitan untuk bisa bersaing dengan bank umum baik dalam penyerapan DPK maupun kredit. Hal tersebut disebabkan permasalah kepemilikan modal yang minim, kompetensi sumber daya manusia (SDM) dan risk management yang masih lemah.

Namun begitu, diusia yang sudah separuh abad rasanya tak pantas bila manajemen menjadikan keluhan sebagai pembelaan khususnya terkait masih minimnya suntikan modal dari pemerintah daerah. Apalagi nyatanya, sudah ada beberapa bank daerah yang mampu bertransformasi menjadi bank umum dengan kapasitas bisnis yang besar seperti halnya Bank Jabar Banten (BJB).

Sejumlah pihak menilai, kinerja buruk Bank Lampung tak lepas dari masih konservatifnya kebijakan yang dikeluarkan para pemangku jabatan, dalam hal ini para direksinya. Bank Lampung disebut tak mau keluar dari zona nyaman dari lingkaran pemerintah daerah sebagai objek bisnis utamanya.

Sederhananya, sebagai bank daerah, Bank Lampung sudah pasti mendapat suntikan modal dari dana APBD tiap tahunnya. Soal nasabah, Bank Lampung juga sudah pasti mendapat pasokan dari pemerintah daerah yang menyertakan para PNS. Begitu pula soal penyaluran kreditnya, yang masih didominasi oleh penyaluran kredit konsumtif pegawai negeri.

Bila ingin menjadi kebanggaan masyarakat, sudah barang tentu Bank Lampung harus menorehkan prestasi gemilang. Bank Lampung harus belajar mandiri dengan membuat langkah inovasi dan berani dalam mencari tambahan modal diluar suntikan APBD.

Sebagai banknya masyarakat Lampung, Bank Lampung juga harus hadir di setiap program pembangunan Lampung, utamanya dengan terlibat langsung dalam pembiayaan proyek infrastruktur. Sudah saatnya Bank Lampung dengan segala kekurangannya tak hanya menjadi penonton atas digdayanya bank umum dalam menggarap kue proyek pembangunan di Provinsi Lampung.  []


~ Fajar Sumatera, Jumat, 24 Juni 2016


No comments:

Post a Comment