Thursday, May 21, 2015

Lampung Betoh

Oleh Riko Firmansyah


NGUPI pai. Artinya, minum kopi dulu. Bisa saja ajakan pada tamu, kerabat dekat, rekan kerja, dan handai taulan, hingga pada diri sendiri, untuk rehat. Pemakaian sesungguhnya tidak secara harfiah menyeruput minuman hitam beraroma menantang tersebut. Banyak makna terkandung di dalamnya.

Menyapa  seseorang yang dikenal saat kebetulan lewat di depan rumah, misalnya.  "Ngupi pai uo",  tambahan kata ui kerap dipakai orang Lampung dari suku Abung, Pesisir, Menggala, hingga Pubian. Ui, bisa saja diartikan bro, kawan, s, cui, coi, man, hingga gan, demi  menunjukan keseriusan ajakan tersebut.

Filosofinya, ucapan ngupi pai mencerminkan kesungguhan dalam beramah-tamah di level menengah.  Satu tingkat dibawahnya, Singgah pai---mampir dulu. Dan, di atasnya,  Mengan pai--makan dulu.

Begitu banyak  bentuk keramahan dan sapaan orang Lampung pada sesamanya maupun pada suku lain. Salain tercermin pada berbagai sapaan tersebut. Maksudnya, orang Lampung itu baik, ramah, sopan, tahu diri, tidak gegabah, jujur, spontan, dan santun.

Lalu, kenapa orang Lampung--- Sumatera pada umumnya--- terkenal oleh orang-orang dari pulau lain (Jawa, Kalimantan, Bali, hingga Papua) keras?

Lihat dulu prosesnya sebelum warga Lampung bersinggungan dengan suku lain. Di kapal penyeberangan Bakauheni-Merak, contohnya.  "Berapa Pak harga pop mie itu," tanya seorang penumpang pada penjaga kantin kapal. Lalu, matanya membesar dan ekspresi wajahnya mengerut saat harga yang disebutkan 500 persen di atas harga normal.

"Mahal amat!" jawab penumpang, dengan suara meninggi. "Beli di darat aja Bang yang murah. Tuh pakai sepeda saya. Sana gowes ke pinggir!"  Jawab penjaga kantin kapal. Selanjutnya, mata kanan penjual kantin itu biru dan sebagian dagangannya berterbangan ke Selat Sunda.

Kesialan tidak hanya menimpa penjaga kantin. Petugas kapal di ruang penumpangpun mengalami hal yang sama. "Saya kira bantal ini fasilitas kapal dan penumpang. Kok malah disuruh bayar. Tahu begitu jangan maen kasih-kasih aja. Kasihan anak saya. Lagi tidur bantalnya ditarik," ujar penumpang.

Padahal, sebagian besar orang Lampung jarang menggunakan kata "saya" kecuali emosinya sudah sangat memuncak. Dan, itu tidak diketahui oleh petugas kapal tadi. Dia malah menjawab, "Kalo mau gratis bawa bantal dari rumah. Sekalian dengan tempat tidur dan rumahnya. Mana ada yang gratis!"  Maka patahlah dua gigi petugas tadi.

Dua peristiwa itu berlangsung saat kapal menunggu sandar, empat jam lamanya. Padahal, kerlap kerlip lampu di Pelabuhan Merak hingga Pantai Anyer jelas terlihat. Sepertinya, siapapun dia---tak mesti orang Lampung  atau Sumatera---bila tingkat kekesalan sudah terakumulasi seperti itu akan hilang keramah-tamahan dan sifat santunnya. Terlebih saat lapar, Lampung betoh. []


~ Fajar Sumatera, Kamis, 21 Mei 2015



No comments:

Post a Comment